SELAMAT DATANG DI BLOGGER SAYA http://warta-wirti.blogspot.co.id/ TERIMA KASIH TELAH BERKUNJUNG by ALEXYNET

Saturday, March 26, 2016

Tidak semua pasangan harus punya anak. Setujukah Anda?

Setiap pasangan menikah pasti ingin memiliki buah hati. Namun sebetulnya, haruskah mereka yang sudah menikah memiliki anak? Sebab kadang Tuhan memberi ujian sehingga pasangan memang tidak dikaruniai anak.


  • Menjadi sehat, adalah usaha yang wajib dilakukan oleh setiap orang. Namun apa sih arti sehat sebenarnya? Tidak hanya fisik, namun juga jiwa. Kesehatan fisik, banyak juga ditunjang oleh kesehatan jiwa, begitu pun sebaliknya. Lalu apakah jiwa kita sehat, jika terus melakukan hal yang 'diminta' oleh lingkungan, kemudian tertekan karenanya? Misalnya tekanan untuk sesegera mungkin memiliki anak, setelah menikah.
    Memiliki anak memang menggembirakan, dan kerap disebut orang sebagai pengikat pernikahan. Namun sepadankah tanggung jawab seorang anak untuk dibebani hal seberat itu? Lalu sepadankah usaha kita memiliki anak, dengan uang yang begitu besar harus dikeluarkan, pengorbanan yang terlalu banyak dengan berbagai suntikan hormon dan sebagainya, jika ujung-ujungnya hanya demi memiliki buah hati yang nanti tugasnya hanya untuk menyenangkan orang lain dan mengikat pernikahan?
    Dr Tan Shot Yen menuliskan hal ini dalam bukunya yang berjudul Nasihat Buat Sehat. Ia menuliskan, kini semakin banyak pasangan datang ke ruang praktik dokter dengan keluhan sulit mempunyai keturunan. Zaman teknologi dan mekanisasi ilmu belum terlalu populer, orang cenderung mengambill sikap pasrah atau melakukan adopsi anak.
    Tetapi kepasrahan bukan lagi sikap pilihan masa sekarang. Bahkan kata "pasrah" itu sendiri kian bermakna bodoh dan kalah tarung. Manusia dianggap tak boleh kalah pada nasib, apalagi takdir. Nasib buruk dianggap aib yang harus dibelokkan ke arah tujuannya, sehingga sesuai dengan cita-cita. Takdir bukan lagi istilah yang dapat diterima.
    Satu-dua hambatan dalam kehidupan tak membuat manusia berhenti sejenak dan menjadi bijak untuk memahami dan mencari mana, melainkan menjadi pelecut yang mendorong hasrat semakin keras. Segala rintangan diterabas. Istilah anak sebagai pengikat perkawinan, ketimbang menempatkan anak sebagai pribadi utuh, malah menjeratnya sebagai alat. Padahal goyahnya pernikahan adalah indikator banyak hal yang masih harus dibenahi, justru sebelum anak lahir.
    Keberadaan anak dalam perkawinan dengan komunikasi yang buruk, misalnya, justru semakin menjauhkan suami-istri. Anak yang tumbuh dalam rumah tangga yang kisruh kian menjadi tantangan tak kunjung usai. Perkawinan di ambang kehancuran, atau rumah tangga dipertahankan sebagai kepura-puraan, dengan suami istri yang sama sekali tak tumbuh. Kalaupun tumbuh, maka sendiri-sendiri sehingga rawan perselingkuhan.
    Cukup banyak, kok, perkawinan langgeng tanpa anak, namun memberi berkah luar biasa bagi banyak anak. Kondisi ini muncul karena dewasanya hubungan yang tumbuh antara suami-istri. Berkah tak hanya dinikmati di dalam, namun memancar keluar sebagaimana manusia berkembang dalam komunitasnya. Penjabaran rasa puas dan bahagia serta hubungan kasih sayang timbal balik tidak melulu terjadi dalam lingkup eksklusif. Pasangan yang sehat serta dewasa akan mampu mengolah dan mengelolanya dalam lingkaran yang lebih besar lagi.
    Sudah terlalu usang jika dikatakan perkawinan adalah tentang saling melengkapi dalam artian sempit. Seakan-akan apa yang kurang dalam diri seseorang bisa ditambal oleh kehadiran pasangannya. Seperti dua orang cacat bila mereka hidup sendiri-sendiri dan baru sempurna bila bersatu. Diibaratkan satu orang mengambil kelengkapannya dari orang yang lain. Tak jarang perkawinan menjadi ajang saling memanfaatkan dengan cara berpikir seperti ini.
    Akan menjadi berbeda bila perkawinan adalah persatuan dari dua orang dewasa yang cukup. Dua orang yang mampu berdiri di atas kaki masing-masing. Dua orang yang siap tumbuh bersama bukan dengan cara saling mengambil kelengkapannya dari diri yang lain, tetapi dengan saling memberi karena berangkat dari kecukupan masing-masing. Bukan ketakutan karena kesendirian dan kekurangannya.
    Dengan demikian seorang dewasa yang mengawini pasangannya mampu berkata, "Aku bahagia dan merasa cukup dengan diriku. Tapi dengan adanya kamu, hidupku semakin bermakna." Ya, akan lebih baik jika pasangan sama-sama berhenti dan merefleksikan makna dari ujian yang diberikan, bukan? Ketimbang terburu-buru mengambil keputusan berbagai tindakan medis, demi memiliki anak, sementara melupakan esensi awal dari makna pernikahan.

No comments:

Post a Comment